Nama : Haji Husein Mutahar
Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916
Sekolah :
• ELS (Europese Lagere School) (SD Eropa 7 tahun), merangkap mengaji/ membaca Al-Quran pada guru wanita,Encik Nur.
• MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs) atau SMP 3 tahun di Semarang, merangkap mengaji pada Kiai Saleh.
• AMS (Algemeen Midelbare School) atau SMA, jurusan SastraTimur, khusus
• bahasa Melayu, di Yogyakarta.
• Universitas Gajah Mada, Jurusan Hukum merangkap Jurusan Sastra Timur, khusus Jawa Kuno di Yogyakarta
• (sesudah 2 tahun drop out karena perjuangan).
• Semua Kursus/Training Pemimpin Pandu di Indonesia dan di London.
• Training School Diplomatic and Consulair Affairs di Nederland.
• Training School Diplomatic and Consulair Affairs di kantor PBB (United Nation Organization/UNO), New York.
Pekerjaan:
• Guru Bahasa Belanda di SD swasta Islam di Pekalongan.
• Wartawan berita kota, surat kabar Belanda “Het Noorderi’ di Semarang, 1938.
• Klerk di Cosultatie Bureau der Afdeling Nijverheid voor, Noord Midden Java, Departement Ekonomische
• Zaken, 1939-1942.
• Sekretaris Keizai Bucho (Kepala Bagian Ekonomi) Kantor Gubernur Jawa Tengah, 1943.
• Pegawai Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara) di Semarang, 1943-1948.
• Sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indone-sia, 1945-1946.
• Ajudan III, kemudian Ajudan II Presiden Republik In-donesia, 1946-1948.
• Pegawai Departemen Luar Negeri Republik Indone-sia, 1969-1979.
• Diperbantukan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal Urusan
• Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) Departemen P&K, 1966-1968.
• Diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973.
• Direktur Protokol Departemen Luar Negeri merangkap Protokol Negara, 1973-1974
• InspekturJenderal Departemen Luar Negeri dan selama 16 bulan, merangkap Direktur Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, merangkap Kepala Protokol Negara, 1974.
• Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, golongan IVe.
Pergerakan:
• Pemimpin Pandu dan Pembina Pramuka, 1934-1969
• Anggota Partai Politik, 1938-1942
• Kepala Sekolah Musik di Semarang, sebagai tempat penanaman, penyebaran, dan pengobaran semangat kebangsaan Indonesia, sebagai gerakan elawan penyebaran semangat Jepang dan bungkus gerakan subversi melawan Jepang, 1942-1945
• Anggota AMKRI (Angkatan Muda Kereta Api Indonesia) di Semarang, 1945.
• Anggota BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia) Jawa Tengah, 1945.
• Anggota redaksi majalah “Revolusi Pemuda”, 1945-1946.
• Gerilya, 1948-1949
• Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta kemudian menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia “Pandu Rakyat Indo-nesia”, 28-12-1945 s.d. 20-5-1961.
• Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka, duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan,1961-1969.
• Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.
• Alumni Penataran P-4 Tingkat Nasional XIX, 1980.
• Ketua Umum organisasi sosial di bidang pendidikan “Parani Dharmabakti Indonesia” (PADI), 1987-2004.
• Ketua Dewan Pengawas “Yayasan Idayu”.
Hobi:
• Seni Suara
• Studi Agama Islam dan perbandingan agama-agama serta organisasi kerohanian, baik di dunia Timur maupun Barat.
Keluarga:
• Tidak menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan “serahan” dari ibu mereka —yang janda— atau bapak mereka —beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan).
Meninggal dunia:
• Hari Rabu, 9 Juni 2004, pukul 16.30 WIB, dalam usia 87 tahun di Jln. Damai No.20 Cipete, Jakarta Selatan. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Ja-karta Selatan. Sebetulnya, beliau berhak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki tanda kehormatan “Mahaputera” atas jasa menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan “Bintang Gerilya” atas jasanya ikut perang gerilya tahun 1948-1949. Tetapi, beliau tidak mau, bahkan mengurus hal itu kepada pengacara dengan membuat surat wasiat.
Sumber: Drs H. Idik Sulaeman, AT, Booklet Paskibraka 2004
SEKELUMIT KISAH TENTANG HUSEIN MUTAHAR
A. Bendera duplikat itu juga sudah jadi “ Pusaka “
Karena dikibarkan di tiang 17 Istana Merdeka setiap upacara 17 Agustus, bendera pusaka yang usianya sudah sangat tua mulai robek di keempat sudutnya. Pada bulan Agustus 1968, Husein Mutahar sudah diberitahu oleh Presiden Soeharto tentang rencana pembuatan duplikat bendera pusaka. Tapi ia mengusulkan agar penggantian dilakukan pada tahun berikutnya, 1969, karena bendera pusaka harus tetap dikibarkan saat Soeharto memulai jabatan Presiden RI.
Pada tahun 1969, pembuatan bendera duplikat disetujui. Dalam usulannya, Mutahar meminta agar duplikat bendera pusaka dibuat dengan tiga syarat, yakni: (1) bahannya dari benang sutera alam, (2) zat pewarna dan alat tenunnya asli Indonesia, dan (3) kain ditenun tanpa jahitan antara merah dan putihnya.
Sayang, gagasan itu tidak semuanya terpenuhi karena keterbatasan yang ada. Pembuatan duplikat bendera pusaka itu memang terlaksana, dan dikerjakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung, dibantu PT Ratna di Ciawi Bogor.
Syarat yang ditentukan Mutahar tidak terlaksana karena bahan pewama asli Indonesia tidak memiliki warna merah standar bendera. Sementara penenunan dengan alat tenun asli bukan mesin akan memakan waktu terlalu lama, sedangkan bendera yang akan dibuat jumlahnya cukup banyak.
Duplikat akhimya dibuat dengan bahan sutera, namun menggunakan bahan pewarna impor dan ditenun dengan mesin. Bendera duplikat itu kemudian dibagi-bagikan ke seluruh daerah tingkat I, tingkat II dan perwakilan Indonesia di luar negeri pada 5 Agustus 1969.
Namun, untuk pengibaran pada tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka, sebelumnya telah dibuat sebuah duplikat bendera pusaka lain dengan bahan yang tersedia, yakni dari kain bendera (wool) yang berwarna merah dan putih kekuning-kuningan. Karena lebar kainnya hanya 50 cm, setiap bagian merah dan putih bendera itu terdiri dari masing-masing tiga potongan kain memanjang.
Seluruh potongan itu disatukan dengan mesin jahit dan pada salah satu bagian pinggimya dipasangi sepotong tali tambat. Pemasangannya di tali tiang tidak satu persatu (seperti pada duplikat bendera pusaka hasil karya Balai Penelitian Tekstil), tapi cukup diikatkan pada kedua ujung tali tambatnya.
Ketidaksamaan bentuk tali pengikat antara duplikat bendera pusaka di Istana Merdeka dengan duplikat bendera pusaka yang dibagikan ke daerah, seringkali menimbulkan masalah. Dalam pengibaran bendera pusaka di daerah, terjadi ketidak-praktisan saat mengikat tali tambat yang jumlahnya banyak. Hal itu sering membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengikat menjadi sangat lama, belum lagi kemungkinan terjadi kesalahan sehingga bendera berbelit sewaktu dibentang sebelum dinaikkan.
***
Pada tahun 1984, setelah dikibarkan di Istana Merdeka setiap tanggal 17 Agustus selama 15 kali, bendera dup-likat yang terbuat dari kain wool itu pun terlihat terlihat mulai renta. Mutahar yang menonton upacara pengibaran ben-dera oleh Paskibraka melalui pesawat televisi, tiba-tiba dikejut-kan dengan celetukan ‘cucunya’. “Eyang, kok benderanya su-dah tua, apa nggak robek kalau ditiup angin,” kata sang cucu.
“Masya Allah. Aku baru sadar kalau ternyata bendera duplikat itu usianya sudah 15 tahun. Maka, siang itu juga aku mengetik surat yang kutujukan pada Pak Harto. Isinya mengingatkan beliau bahwa bendera duplikat yang dikibarkan di Istana sudah harus ‘pensiun’ dan apa mungkin bila dibuatkan duplikat yang baru,” papar Mutahar.
Ternyata, Pak Harto membaca surat itu dan memenuhi per-mintaan Mutahar. “Allah Maha Besar karena suratku diperha-tikan oleh Pak Harto,” kenang Mutahar.
Maka, pada tahun 1985 bendera duplikat kedua mulai di-kibarkan, sementara bendera duplikat pertama yang terbuat dari kain wool kini disimpan dalam museum di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Bendera duplikat kedua untuk seterusnya menjadi bendera yang dikibarkan setiap 17 Agustus sampai saat ini. Mengingat usianya yang juga sudah ‘renta’ yakni 22 tahun, ada baiknya Presiden RI kembali diingatkan untuk memeriksa apakah bendera duplikat kedua itu masih layak untuk dikibarkan. Bila tidak, sudah waktunya pula bendera itu diistirahatkan dan ditempatkan di museum mendampingi duplikat pertama. Se-mentara untuk pengibaran di Istana Merdeka, bisa dibuatkan duplikat yang baru dengan bahan yang lebih baik dan tahan lama. [Bulletin Paskibraka '78 edisi Juni 2007]
B. Antara Soekarno dan Soeharto
Sebuah Pengalaman Pribadi Husein Mutahar
Apa yang dikisahkan berikut ini merupakan pengalaman pribadi Kak Mutahar bersama dua orang nomor satu di Republik Indonesia: Soekarno dan Soeharto. Diakui Kak Mut, pendapat pribadinya belum tentu sama dengan orang lain. “Sebagai mantan ajudan dan staf, aku mikul dhuwur mendhem jero, sehingga yang kuceritakan kebaikannya saja. Soal kekurangannya, biarlah orang lain yang menceritakan,” ujar Kak Mut.
Beberapa kali cerita ini dipaparkan kepada saya, sebagian di antaranya di depan teman-teman Paskibraka ‘78 yang lain. Kak Mut sering bilang, kisah ini sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi saya melihat sebaliknya: sebagai sebuah sisi penting yang menunjukkan siapa sebenarnya seorang Husein Mutahar. (Budi W)
Mutahar dan Soekarno
BUNG Karno (BK) lahir di Blitar dan tumbuh di masa sulit serta penuh perjuangan. Sebagai orang Jawa Timur bicaranya cep las ceplos tanpa tedeng aling-aling. Suaranya mungkin terdengar kasar, tetapi memang itulah Soekarno. Kalau sedang marah, semua keluar dengan seketika. Tapi, secepat itu pula ia minta maaf bila merasa ada kata-katanya yang menyinggung perasaan.
Suatu hari, ajudan BK datang ke rumahku dan bilang, “Pak Mutahar dipanggil menghadap Bapak (BK) di istana.” Aku jawab, “Baik, saya ganti baju dulu dan nanti menyusul ke istana.” Tetapi si ajudan bertahan, “Tadi Bapak pesan Pak Mutahar harus ikut bersama saya.”
Wah, sepertinya penting sekali. Maka aku bergegas, dan sesampai di istana langsung menuju ke ruang kerjanya. Kulihat muka BK kusut dan sepertinya sedang marah besar. “Mut, kamu tahu kenapa aku panggil?” Aku menjawab santai, “Lha ya nggak tahu. Wong Bapak yang manggil saya, mana saya tahu.”
“Aku mau marah!” hardik BK lagi. “Ya marah aja. Mau marah kok nunggu saya,” jawabku sekenanya, karena aku kenal betul sifatnya.
Ternyata, jawabanku itu membuatnya benar-benar marah. Dalam bahasa Belanda BK mengeluarkan unek-uneknya selama hampir dua jam, padahal aku tidak tahu sebabnya. Aku mendengarkan saja, sampai kemarahan itu kendor dan akhirnya BK diam. Aku lalu bilang, “Bung, marahnya sudah selesai kan? Kalau sudah, aku tak pulang…”
BK langsung melotot ke arahku. Dalam hati aku berkata, “Wah, salah omong aku. Bisa-bisa dia marah lagi…” Tapi ternyata tidak, karena mata-nya kembali meredup. “Ya sudah, pulang sana!” katanya memerintah. “Kalau begitu saya pamit,” jawabku sambil keluar dan terus pulang. Tapi tak lama kemudian, ajudannya datang lagi ke rumahku.
Aku langsung menyambar, “Ada apa? Saya dipanggil lagi untuk dima-rahi ya?” Sang ajudan cuma mesem-mesem. “Nggak kok Pak Mut. Saya disuruh Bapak ngantar ini,” katanya sambil menyerahkan tas — yang setelah kubuka ternyata isinya berbagai macam kue.
Sambil mengucapkan terima kasih kepad si ajudan, aku tersenyum. “Dasar wong gendeng. Kalau bar nesu (habis marah) ngirimi kue, ya sering-sering aja marah biar giziku terjamin,” kataku dalam hati. Esoknya aku bertemu lagi dengan BK dan kulihat wajahnya sumri-ngah. Maka aku menegur, “Bung, kalau masih mau marah sama saya, silahkan. Tapi jangan lupa kuenya dikirim lagi.”
BK tertawa keras. “Mut, kamu tahu kenapa saya marah?” Aku menja-wab, “Ya nggak tahulah. Wong Bapak marahnya banyak sekali, jadi saya nggak ingat.”
“Makanya aku panggil kamu untuk aku marahi. Lantaran aku tahu kamu pasti tutupi kupingmu dengan kapas biar nggak dengar omong-anku,” kata BK sambil ngeloyor pergi. ***
Mutahar dan Soeharto
PAK Harto lahir dan besar di Yogyakarta dan sekitarnya. Begitu juga selama masa perju-angan, ia banyak berkiprah di tanah kelahiran-nya. Maka tak aneh jika sifatnya lembut. Kultur Jawa-nya sangat kental, tutur katanya halus dan pandai menyimpan perasaan. Kalau menegur pasti menggu-nakan krama halus, dan sebagai orang Jawa suka memakai bahasa simbol dan lebih sulit dipahami.
Pada suatu hari di awal bulan Agustus 1968, aku dipanggil menghadap ke istana. Berdua saja di ruang kerjanya, dengan sebuah kotak berukir di atas meja, Pak Harto memulai pembicaraan. “Pak Mutahar kan tahu bahwa bendera pusaka sudah cukup tua dan kondisinya semakin rapuh. Saya ingin menggantinya agar tidak robek pada saat dikibarkan di hari kemerde-kaan nanti. Bagaimana pendapat Bapak?”
Aku terdiam beberapa saat dan mencari jawaban yang tepat. “Pak Harto,” kataku dengan hati-hati, “saya tahu bendera pusaka sudah rapuh. Tapi kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya bendera pusaka tetap dikibarkan sekali lagi tahun ini. Setelah itu, mau diganti dengan bendera lain terserah Bapak.”
“Mengapa harus tetap dikibarkan?” tanya
Pak Harto lagi.
“Karena ini adalah bendera Merah Putih yang perta-ma kali dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan. Jadi sebaiknya bendera ini dikibarkan juga pada saat estafet kepemimpinan beralih ke tangan Bapak, selain sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada para pejuang kemerdekaaan,” ujarku menjelaskan. Tahun 1968, memang tahun pertama Pak Harto menjabat Presiden RI setelah dilantik dalam Sidang Umum MPRS, 27 Maret 1968.
Pak Harto tersenyum dan kemudian berkata, “Baik-lah, pendapat bapak akan saya pertimbangkan. Tetapi saya masih mau minta tolong kepada Pak Mutahar untuk memastikan apakah bendera yang ada didalam kotak ini benar-benar bendera pusaka yang asli. Saya tahu Pak Mutahar yang menyelamatkan bendera pusa-ka pada saat perjuangan dulu, jadi pasti bisa mengenalinya.”
Aku kaget setengah mati. Bagaimana kalau bendera yang di dalam kotak itu bukan bendera pusaka, wah, bisa celaka aku. Aku berpikir keras bagaimana caranya bisa meyakinkan Pak Harto tentang keaslian bendera pusaka tanpa harus memeriksanya sendiri. “Maaf Pak Harto. Bukan saya tidak mau memenuhi permintaan Bapak, tetapi biarlah saya jelaskan secara detail ciri-cirinya, setelah itu silahkan Bapak memeriksa dan memastikan sendiri keaslian bendera pusaka. Jika ciri-cirinya cocok berarti asli,” ujarku dan setelah itu cepat-cepat mohon pamit.
Nyatanya, Pak Harto mendengarkan usulanku. Bendera dalam kotak itu memang asli bendera pusaka. Dan, pada puncak upacara HUT Proklamasi 1968, bendera pusaka yang asli itu kembali berkibar di tiang 17 Istana Merdeka Jakarta. [bulletin Paskibraka '78 edisi Juni 2007]
C. Mutahar Sang Penyelamat Bendera Pusaka
PROKLAMASI Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hah Jum’at, 17 Agustus 1945, jam 10.00 pagi, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk pertama kali se-cara resmi bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang pemuda, Latief Hendraningrat dan Suhud. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan bendera ini pula yang kemudian disebut “bendera pusaka”. Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan sampai Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api me-ninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno.
Selanjutnya, ibukota dipin-dahkan ke Yogyakarta. Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Pre-siden, wakil presiden dan beberapa peja-bat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Soe-karno sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar. Sang ajudan lalu ditugaskan untuk untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penye-lamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soekarno berucap kepada Mutahar: “Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh ja-tuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, per-cayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke ta-nganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.” Sementara di sekeliling mereka bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa, Tanggungjawabnya terasa sungguh berat. Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan menca-but benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu.
Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi ha-nya kain biasa, sehingga tidak melaku-kan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah. Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presiden Mohammad Hatta langsung dibawa Bangka. Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota.
Ternyata mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta. Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, —yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama). Selama di Jakarta Mutahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada su-atu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta.
Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya. Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka. Bung Karno sengaja tidak memerintahkan Mutahar sendiri datang ke Bang-ka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kera-hasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka. Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na-tions Committee for Indonesia). Dan Su-djono adalah salah satu anggota dele-gasi itu, sedangkan Mutahar bukan.
Setelah mengetahui tanggal kebe-rangkatan Soedjono ke Bangka, Mutahar berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seo-rang istri dokter —yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya. Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bende-ra pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.
Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Naskah pengakuan kedaulatan lndonesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu Soekamo kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta. Untuk pertama kalinya setelah Proklamasi bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950. ■ Syaiful Azram - Bulletin Paskibraka ‘78
D. Mutahar Sederhana Watak Mulia Seorang Pandu
MASIH ingatkah kita bagaimana menyenandungkan lagu “Syukur” karya H. Mutahar? Dari yakinku teguh hati ikhlasku penuh Akan karunia-Mu
Tanah Air pusaka Indonesia Merdeka Syukur aku sembahkan ke hadirat-Mu Tuhan…
Mudah-mudahan masih ada yang bisa menggumamkannya, jika sungkan dengan orang-orang sekitar, cukup bernyanyi dalam hati saja ya… Lagu patriotik jaman dulu ini sering kita nyanyikan ketika mengheningkan cipta dalam acara-acara resmi, namun pernahkah kita membayangkan keseharian Husein Mutahar, atau Kak Mut atau Om Mutahar?
Penyelamat Bendera Pusaka, tokoh kepanduan dan pendiri Gerakan Pramuka ini di akhir masa hidupnya menghuni sebuah rumah se-derhana di ruas jalan sempit di sebelah Pasar cipete. Ia memang tak membutuhkan penghar-gaan berlebihan, bila perlu merelakan diri agar orang lain selamat. Begitulah watak mulia Pramuka yang dibawa-nya hingga wafat 9 Juni 2004, dua bulan menje-lang ulang tahunnya yang ke-88.
Ada sebuah foto ber-warna berukuran besar di dekat jenazahnya, dalam balutan seragam Pramuka, lengkap dengan tanda jasa Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, serta tanda kemahiran Pramuka sebagai pembina bertaraf internasional. Menurut penuturan wartawan senior, Bondan Winarno, foto itu baru diambil dua minggu sebelurnnya oleh cucunya, dengan kamera digital pinjaman.
“Ia telah pulang ke Timur Abadi — sebuah kata sandi yang suka dipakainya untuk menyebut Hadirat Allah. Selamat Jalan,” tulis Bondan di Harian Kompas, lima hari setelah kematiannya. Ya, Om Mutahar telah mendapatkan upacara pemakaman persis seperti yang diingininya, khidmat dan sederhana. Bondan sendiri, adalah juga seorang Pramuka.
Kesederhaan, adalah kehidupan yang juga dijalani seorang bunda bernama Dari Bunakim, yang hampir sepanjang umurnya dihabiskan untuk kegiatan pramuka, mendaki gunung, menjelajahi hutan, juga berkemah. Pramuka dikenalnya tahun 1928, saat ia berumur 11 tahun.
Sejak tahun 1968, ia menjadi salah satu pembina pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka). Hingga usia senjanya bunda Bunakim masih men-cuci, membersihkan rumah, dan mema-sak sendiri. Pakaiannya pun dia buat sendiri. Wanita tua ini ke mana-mana naik bus, ia selalu berjalan kaki dari ru-mahnya ke tempat pemberhentian bus, dan dari pemberhentian bus ke tempat yang ditujunya. Itulah mengapa ia masih sanggup naik gunung di usia uzur. Dahsyat!
Manusia-manusia berhati mulia dan terhormat seperti Om Mutahar dan Bunda Bunakin, menyiratkan jati diri seorang pramuka yang sesungguhnya, yang begitu meyakini ungkapan yang di-tinggalkan Stephenson Smyth Baden Powell, beberapa saat sebelum ia me-ninggal dunia. Sebuah tulisan terakhir yang ditemukan di antara tumpukan kertas, setelah Bapak Pandu Sedunia itu wafat.
“Kebahagiaan tidaklah timbul dari kekayaan, juga tidak dari jabatan yang menguntungkan ataupun dari kesenang-an itu sendiri. Jalan menuju kebahagiaan ialah membuat dirimu lahir dan batin sehat dan kuat pada waktu kamu masih kanak-kanak, sehingga kamu dapat berguna bag! sesamamu dan dapat memaknai hidup, jika kamu kelak telah dewasa. Usahamu menyelidiki alam akan menimbulkan kesadaran dalam hatimu, betapa banyaknya keindahan dan keajaiban yang diciptakan oleh Tuhan di dunia supaya kamu dapat menikmatinya.”
Yah, seorang pandu, bagaimanapun akan tetap seorang pandu. Mereka, manusia-manusia yang mampu berlayar dengan memanfaatkan matahari. Orang-orang yang membuat banyak orang me-nangis tatkala ajal menjemput. Mereka yang membawa ketenangan di tengah kerusuhan, membawa damai bila terjadi kekalutan, membawa kegembiraan di tengah kesedihan, membawa kepastian bila terjadi kebimbangan, dan menjadi penyelamat di tengah bahaya.
Salam Pramuka!!
Dicuplik dari: Kolom Kita
Kompas Cyber Media Community
Jumat, 08 September 2006, 17:33 wib
E. Mutahar Potret Seorang Musikus Ulung
Sumber : Willem B Berybe Guru SMAK Giovanni Kupang
EUFORIA nasionalisme dan patriot-isme (cinta tanah air) bangsa Indo nesia seakan meledak-ledak ke permukaan tatkala kita merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI dari tahun ke tahun. Mulai dari RT/RW, desa/kelu-rahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi hingga istana negara, gedung-gedung sekolah, kampus, kantraktor, pertokoan, tempat-tempat keramaian umum termasuk rumah-rumah pendu-duk terpancang umbu-umbul warna warni yang mencuar-cuar ke langit menghiasi wajah tanah air ini.
Sayangnya nuansa ini tak dibarengi lagu-lagu perjuangan dan nasional yang menggelegar di mana-mana. Ke-cuali di lingkungan sekolah. Para siswa sering melantunkan kembali lagu-lagu wajib seperti: Dari Sabang Sampai Merauke, Maju Tak Gentar, Rayuan Pu-lau Kelapa, Bangun Pemuda Pemudi, dll. Musik gaul, lagu-lagu kelompok band sekarang cenderung menjadi fa-vorit kaum remaja Indonesia masa kini.
Pada 9 Juni 2004, seorang musikus Indonesia era pra kemerdekaan telah meninggalkan dunia di Jakarta. Dialah Mutahar yang nama lengkapnya Husein Mutahar, kelahiran Semarang 5 Agustus 1916. Beliau adalah pencipta lagu Himme Syukur dan mars Hari Mer-deka yang merupakan lagu-lagu wajib nasional. Kepergian almarhum ini me-mang nyaris tersaput oleh gegap gem-pita kampanye pemilihan Presiden. Pu-blik pun tak banyak tahu siapa gerangan Mutahar itu.
Tempo edisi 14-20 Juni 2004 menu-runkan rubrik khusus obituari mengi-ringi kepergian Mutahar dengna judul “Mutahar Sudah Merdeka”. Ia dilukiskan sebagai seorang pribadi yang santun, jujur dan cerdas. Inilah prototipe kelom-pok muda intelektual Indonesia umum-nya era pra kemerdekaan yang memiliki ciri-ciri kecerdasan tinggi. Mereka rata-rata menguasai bidang matemati-ka, sejarah, bahasa, musik, dan sastra. Memiliki mental bersiplin tinggi, taat aturan, punya standar moral dan patri-otisme hingga akhir hayat mereka.
Karakteristik ini juga ada dalam diri seorang Mutahar. Jejak langkah beliau mencerminkan keterlibatan dan dedi-kasinya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sebagai seorang “pelayan negara” (civil servant) ia berkecimpung di bidang pemerintahan, kemasyarakatan, diplomasi dan lebih khusus lagi di bidang komposisi lagu-lagu yang bernafaskan nasionalisme dan patri-otisme, pendidikan (lagu anak-anak dan pramuka).
Ia pernah menjadi pelopor kepan-duan bangsa Indonesia pada masa pra kemerdekaan yang kalau itu lazim disebut Pandu Rakyat Indonesia. Dari sinilah, dalam kiprah kepanduan Indo-nesia selanjutnya, lahir nama baru “Pra-muka” (praja muka karana). Berbagai jabatan yang pernah diemban H Muta-har menunjukkan bahwa ia adalah seo-rang abdi negara sejati yang punya kredibilitas, dedikasi dan akuntabilitas (istilah yang marak dipakai pejabat-pe-jabat era reformasi sekarang ini) diser-tai ketulusan, kesederhanaan, keren-dahan hati dan keindahan (seni musik).
Lagu Syukur yang termasuk jenis la-gu himne (gita puja), pujian kepada Tu-han, merupakan lagu pertama ciptaan Mutahar dan untuk pertama kalinya di-perkenalkan kepada khayalak ramai pada Januari 1945. Itu berarti beberapa bulan menjelang Proklamasi RI (17 Agustus 1945) yang diumumkan oleh Soekarno-Hatta, Mutahar ingin meng-ungkapkan magnifikasi (pernyataan pujian) yang agung ke seluruh penjuru tanah air lewat lagu Syukur itu.
Tembang dengan syair yang bernu-ansa magnificant ini mau menegaskan kepada kita bahwa tanah air Indonesia yang sebentar lagi akan merdeka ada-lah sebuah karunia Tuhan:
“Dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh, akan karuniaMu
Tanah air pusaka, Indonesia Mer-deka, syukur aku sembahkan ke hadi-rat-Mu Tuhan”.
Makna yang dalam serta nilai musikal yang kuat dalam lagu himne Syukur ini seringkali membuat banyak orang tere-nyuh dan terpesona bahkan mencucur-kan air mata ketika dinyanyikan kelom-pok paduan suara dengan penuh pen-jiwaan. Tak heran lagu berwatak serin-dai ini selalu menjadi salah satu lagu utama (prime song) pada parade lagu-lagu perjuangan perayaan 17 Agustus atau hari besar nasional lainnya.
Wawasan kebangsaan dan tema ke-merdekaan selalu terdepan dalam de-rap perjuangan bangsa Indonesia ma-sa pra kemerdekaan. Itulah sebabnya seorang Mutahar tahu betul dan yakin bahwa tanpa pengorbanan putra-putri terbaik bangsa (para pahlawan) di medan perang, niscaya kemerdekaan itu berhasil direngkuh dan direbut dari tangan penjajah sebagaimana ia daraskan pada bait kedua:
“Dari yakinku teguh, cinta ikhlasku penuh, akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka, Indonesia Merdeka, syukur aku hunjukkan, ke bawah duli tuan.”
Dia menutup syair-syair lagunya itu dengan sebuah apresiasi pada Gerakan Pramuka Indonesia, Ia melihat inst-itusi kepramukaan itu tidak sekadar sebuah organisasi pemuda/i tapi lebih dari itu sebuah model perjuangan bang-sa menuju kemerdekaan dengan satu prinsip perjuangan yaitu kerukunan:
“Dari yakinku teguh, bakti ikhlasmu penuh, akan azas rukunmu.
Pandu bangsa yang nyata, Indone-sia merdeka, Syukur aku hunjukkan, ke hadapanmu tuan”
Lagu-lagu Indonesia masa sebelum kemerdekaan masuk kategori musik perjuangan dengan penekanan pada aspek sosial dan politik, berbicara ten-tang identitas dan kesatuan bangsa, merefleksi kembali fase-fase berat ma-sa lalu, bertutur tentang korban berja-tuhan di medan perang. Jadi termi-nologi untuk musik/lagu-lagu perjuang-an masa itu disebut “musik fungsional” atau “musik berguna” dengan tujuan utama pada makna dan isi teks, mudah dicerna, gampang dinyanyikan oleh semua lapisan masyarakat.
Di tahun 1946 Mutahar berhasil menggubah lagu mars Hari Kemerde-kaan yang berkarakter brio (bersema-ngat) sehingga selalu dinyanyikan de-ngan semangat pula (con brio). Sedang-kan judul-judul seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, Slamatlah, Jangan Putus Asa, Saat Berpisah dan Pramuka adalah deretan lagu anak-anak ciptaan Mutahar.
Inilah sosok seorang Mutahar. Potret musikus ulung yang rada tenggelam dalam keruwetan negeri ini. Ketika bangsa ini merayakan usia emas 50 tahun (1995) sekali lagi ia diberi kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk menggubah lagu khusus yang berjudul “Dirgahayu Indonesiaku” sebagai lagu resmi ulang tahun kemerdekaan ke-50 RI. Inilah karyanya yang terakhir sebelum ia tutup usia.
Mutahar memang telah tiada, namun lagu-lagunya akan hidup sepanjang masa, sebab itulah hakekat seni ‘ars longa, vita brevis” kata adagium Latin.***
F. In Memoriam Husein Mutahar
Pemakaman Sederhana untuk Seorang Luar Biasa
MENDUNG menggayut, membuat langit Jakarta kelabu Kamis pagi (10/6) lalu. Sesekali gerimis merenai. Di sebuah ruas jalan sempit, di sebelah Pasar Cipete, beberapa mobil silih berganti berhenti di depan rumah duka. Mantan Menses-neg Moerdiono telah hadir malam sebelumnya.
Pagi itu tampak Menlu Has-san Wirajuda, mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoe-dilaga, dan beberapa mantan pejabat lain-seperti Fuad Hassan, Kusnadi Hardjasumantri (Ketua Umum PADI, Red), Mas-tini Hardjoprakoso dan ratusan kerabat dan sahabat. Banyak di antaranya memakai seragam Pramuka dan Paskibraka. Alam bagai sedang ikut ber-kabung. Di ruang tamu rumah sederhana itu, terbujur layon renta seorang laki-laki yang se-dang menerima penghormatan terakhir dari orang-orang yang mengagumi dan mencintainya. Tidak sedikit yang datang dengan berlinang air mata.
Husein Mutahar, pencipta lagu Syukur dan puluhan lagu lain, penyelamat Bendera Pusaka, tokoh kepanduan dan pen-diri Gerakan Pramuka, mantan pejabat tinggi negara, mantan Duta Besar RI di Takhta Suci Vatikan, penerima anugerah Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, meninggal dunia Rabu petang (9/6) pukul 16.30, dua bulan menjelang ulang tahunnya yang ke-88.
Di dekat jenazah diletakkan sebuah foto berwarna berukuran besar. Mutahar dalam seragam Pramuka, lengkap de-ngan tanda jasa Bintang Gerilya dan Bin-tang Mahaputra, serta tanda kemahiran Pramuka sebagai pembina bertaraf inter-nasional. Foto itu baru diambil dua ming-gu yang lalu oleh cucunya, dengan ka-mera digital pinjaman.
Foto itu sendiri merupakan firasat be-sar. Mutahar tidak pernah suka dipotret. Ia selalu mencari alasan untuk pergi se-tiap kali melihat orang bersiap membuat potret. Tiba-tiba ia ingin dipotret dengan berbagai atribut. Sebetulnya ia juga ingin dipotret dengan jas hitam, tetapi jasnya sudah sangat kebesaran sehingga kurang pantas dikenakan.
Mutahar terlihat sangat kurus dalam foto itu. Kedua bola matanya sedang melihat ke atas, seolah-olah ia sedang menyapa Al Khalik yang ada di sana. Se-jak rumah kediamannya di Jalan Prapan-ca Buntu terbakar habis sekitar lima tahun silam, ia tampak seperti “mengundurkan diri” dari pergaulan ramai. Ia bah-kan menolak kembali ke rumah yang te-lah dibangun kembali oleh anak-anak pandunya. Ia memilih tinggal di rumah anak semangnya yang sederhana. Ia pun mulai tampak semakin kurus karena nafsu makannya pun menurun drastis.
Beberapa bulan yang lalu, ia terjatuh ketika hendak bangkit dari kursi. Sebetulnya tak ada tulang yang patah atau retak. Tidak juga keseleo. Tetapi, sejak itu ia menjadi sulit berjalan. Ia lebih banyak berbaring di tempat tidur. Selama se-bulan terakhir ia semakin enggan makan. Praktis hanya susu dan madu saja yang membuatnya bertahan hidup dalam hari-hari terakhirnya.
Ia bahkan seperti men-skenario- kan prosesi pemakamannya. Pada 20 Febru-ari 2002 —sebagai seorang pengagum simbolisme, ia betul-betul memanfaatkan “getaran” angka 20-02-2002 itu— Mutahar pergi ke notaris untuk mendiktekan wasiatnya. Wasiat tertulis itu sebetulnya persis seperti yang pernah saya dengar langsung dari mulutnya pada akhir tahun 1970-an. Ia ingin dikebumikan sebagai rakyat biasa dalam tata cara Islam.
Berdasar surat wasiat itu, Indradjit Soebardjo dan Sangkot Marzuki —dua anak didik Mutahar di kepanduan dulu— yang langsung datang ke rumah duka, segera memutuskan untuk memakamkan jena-zah di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut tanpa upacara kenegaraan, tradisi kepanduan, ataupun ritus lainnya.
Setelah sembahyang zuhur, di bawah gerimis, keranda yang membawa layon Mutahar dibawa keluar dan diangkut dengan mobil jenazah ke TPU Jeruk Purut. Dua bus Kopaja yang sederhana —bukan Big Bird ber-AC mengangkut anggota keluarganya. Diiring sekitar 50 mobil pelayat lainnya.
Upacara pemakaman berlangsung khidmat dan sederhana. Persis seperti yang diingini Kak Mut. Gerimis merenai. Air mata berderai. Tanah kembali kepada tanah!
***
HUSEIN Mutahar seharusnya berhak dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara kenegaraan. Lahir di Semarang pada 5 Agustus 1916, sebagai pemuda pejuang Mutahar ikut dalam “Pertempuran Lima Hari” yang heroik di Semarang. Ketika Pemerintah Bung Karno hijrah ke Yogyakarta, ia diajak Laksamana Muda Mohammad Nazir yang ketika itu menjadi Panglima Ang-katan Laut. Sebagai sekretaris panglima, ia diberi pangkat kapten angkatan laut. Ketika mendampingi Nazir itulah Bung Karno mengingat Mutahar sebagai “sopir” yang mengemudikan mobilnya di Semarang, beberapa hari setelah “Per-tempuran Lima Hari”. Mutahar kemudian “diminta” oleh Bung Karno dari Nazir un-tuk dijadikan ajudan, dengan pangkat mayor angkatan darat.
Sesaat sebelum Bung Karno dibuang ke Sumatera, setelah serangan Belanda yang melumpuhkan Yogyakarta pada 1948, Mutahar diserahi bendera merah putih yang pertama kali dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur. Bendera itu aslinya dijahit oleh Fatmawati, istri Bung Karno, ibunda Presiden RI Megawati. Mutahar menye-lamatkan bendera itu, yang kemudian dikenal sebagai Bendera Pusaka.
Nama Mutahar harus dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa dalam gerakan pendidikan kepanduan. Pada awal 1960-an, Partai Komunis In-donesia berusaha menyetir kepanduan menjadi mirip pionir di Uni Soviet. “Ber-konspirasi” dengan PM Djuanda, ia ke-mudian berhasil membelokkannya jadi kompromi yang lebih netral, Gerakan Pramuka.
Ia biasa dipanggil dengan sebutan Kak Mut, sesuai dengan tradisi kepanduan. Ia masih akrab dengan bekas anak didiknya dan sering menyelenggarakan reuni bersama mereka. Karena Kak Mut tidak menikah seumur hidupnya, semua anak pandu Kak Mut adalah anaknya. Otomatis, anak-anak mereka semua menjadi cucu-cucu Eyang Mutahar. Mutahar juga mempunyai sembilan o-rang anak semang —istilah yang lebih disukainya ketimbang anak angkat atau anak asuh.
***
MUTAHAR penggemar berat musik klasik. Ia hampir selalu hadir pada setiap pergelaran musik di Ja-karta. Karena itu pulalah Addie MS dari Twilite Orchestra tak pernah lupa me-ngundang Kak Mut ke pementasannya.
Sebagai pencipta lagu, ia bisa dibilang spesialis himne. Karya puncaknya ada-lah Syukur yang hampir setiap malam kita dengar sebagai lagu penutup TVRI. Syukur, menurutnya, diciptakan pada 1944, adalah sebuah puji syukur yang dipersiapkannya untuk kemerdekaan RI yang ketika itu diduganya sudah hampir tercapai.
Lagu Hari Merdeka yang sering diper-dengarkan pada aubade HUT Prok-lamasi, menurut pengakuannya sendiri, diciptakan di dalam toilet Hotel Garuda Yogyakarta. Ketika itu ia sekamar dengan Hugeng —kemudian menjadi Kepala Polri— yang sama-sama mengawal Bung Karno. Hugeng kebingungan men-carikan kertas dan pulpen karena Muta-har tergopoh-gopoh hendak menuang-kan gagasannya ke atas kertas.
Lagu-lagu ciptaan Husein Mutahar hampir mencapai seratus. Karya-karya terakhirnya, antara lain, adalah Dirga- hayu Indonesiaku (diterima sebagai lagu resmi peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka), Himne Universitas Indonesia, dan beberapa himne yang lahir dari keprihatinannya atas kehancuran alam Indonesia.
Ia tampak amat terharu ketika ciptaan-nya berjudul Syukur dan Hari Merdeka digarap ulang Addie MS dengan orkes filharmoni di Australia. Matanya terkatup, beberapa tetes air mata meleleh di pipi-nya yang renta, beberapa tahun silam ketika Addie MS memperdengarkan rekaman itu di rumahnya. Kak Mut se-ngaja membeli tape recorder baru untuk mendengarkan karya megah itu. Perhatiannya pada dunia seni suara sangattinggi. lataksegan merogoh uang dari koceknya sendiri untuk keperluan itu. Belasan tahun yang silam, contohnya, ia pernah menunjukkan kepada saya makalahnya tentang hubungan seni su-ara dengan Nuzulul Quran, Ia menangis ketika istri saya membuat sebuah “tesis” musikal tentang Tuhan, dengan menam-pilkan berbagai interpretasi tentang Tu-han menurut berbagai komponis dan penyanyi. Ia juga suka membina anak-anak mu-da yang berbakat seni. Ia hampir tak pernah absen menghadiri pergelaran orkestra remaja Perguruan Cikini. Pada pergelaran mereka Agustus mendatang, pastilah absennya Om Mutahar akan te-rasa sangat mencekam. Ya, kita semua memang harus me-nerima realita ini. Kak Mut telah tiada. Ia telah pulang ke Timur Abadi—sebuah kata sandi yang suka dipakainya untuk menyebut Hadirat Allah. Selamat jalan, Kak Mut. Allah Sang Maha Pencipta telah membebaskanmu dari segala derita dunia. Hati ikhlas kami penuh. Pergilah dalam damai!
(Kompas, Senin, 14 Juni 2004 - Oleh Bondan Winarno Wartawan Senior, Penulis, dan Pramuka)
G. Husein Mutahar Bapak Paskibraka
PERISTIWA itu terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik In-donesia pertama. Presiden Soekamo memanggil ajudannya, Mayor (Laut) M. Husain Mutahar dan memberi tugas agar segera mempersiapkan upacara peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946, di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Ketika sedang berpikir keras menyu-sun acara demi acara, seberkas ilham berkelebat dibenak Mutahar. Persatuan dan kesatuan bangsa, wajib tetap diles-tarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para pemimpin saat itu. “Simbol-simbol apa yang bisa diguna-kan?” pikirnya.
Pilihannya lalu jatuh pada pengibaran bendera pusaka. Mutahar berpikir, pengi-baran lambang negara itu sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Secepatnya, ia menunjuk lima pemuda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra. Lima orang itu, dalam pemikiran Mutahar, adalah simbol Pancasila.
Salah seorang pengibar bendera pu-saka 17 Agustus 1946 itu adalah Titik Dewi Atmono Suryo, pelajar SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta. Sampai peringatan HUT Kemerdekaan ke-4 pada 17 Agustus 1948, pengibaran oleh lima pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu tetap dilaksanakan.
Sekembalinya ibukota Republik Indo-nesia ke Jakarta, mulai tahun 1950 pe-ngibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta. Regu-regu pengibar dibentuk dan diatur oleh Ru-mah Tangga Kepresidenan Rl sampai tahun 1966. Para pengibar bendera itu memang para pemuda, tapi belum mewa-kili apa yang ada dalam pikiran Mutahar.
Mutahar tidak lagi menangani pengibaran bendera pusaka sejak ibukota negara dipindahkan dari Yogyakarta. Upacara Peringatan Proklamasi Kemer-dekaan diadakan di Istana Merdeka Jakarta sejak 1950 sampai 1966. Ia pun seakan hilang bersama impiannya. Na-mun, ia mendapat “kado ulang tahun ke-49″ pada tanggal 5 Agustus 1966, ketika ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Uru-san Pemuda dan Pramuka (Dirjen Uda-ka) di Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K). Saat itulah, ia kembali teringat pada gagasannya tahun 1946.
Setelah berpindah-pindah tempat ker-ja dari Stadion Utama Senayan ke eks gedung Departemen PTIP di Jalan Pe-gangsaan Barat, Ditjen Udaka akhirnya menempati gedung eks Departemen Te-naga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Jalan Merdeka Timur 14 Jakarta. Tepatnya, di depan Stasiun Kereta Api Gambir.
Dari sana, Mutahar dan jajaran Udaka kemudian mewujudkan cikal bakal latih-an kepemudaan yang kemudian diberi nama “Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”. Latihan itu sempat diujicoba dua kali, tahun 1966 dan 1967. Kurikulum ujicoba “Pasukan Penggerek Bendera Pusaka” dimasukkan dalam latihan itu pada tahun 1967 dengan peserta dari Pramuka Penegak dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta.
Latihan itu mempunyai kekhasan, terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang menggunakan pendekatan sistem “Keluarga Bahagia” dan diterapkan secara nyata dalam konsep “Desa Bahagia”. Di desa itu, para peserta latihan (warga desa) diajak berperan serta dalam menghayati kehidupan seharihari yang menggambarkan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Saat Ditjen Udaka difusikan dengan Ditjen Depora menjadi Ditjen Olahraga dan Pemuda, lalu berubah lagi menjadi Ditjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (Diklusepora), salah satu direktorat di bawahnya adalah Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM). Direktorat inilah yang kemudian meneruskan latihan dengan lembaga penyelenggara diberi nama “Gladian Sentra Nasional”.
Tahun 1967, Husain Mutahar kembali dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Ajakan itu, bagi Mutahar seperti “mendapat durian runtuh” karena berarti ia bisa melanjutkan gagasannya membentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh Indonesia.
Mutahar lalu menyusun ulang dan mengembangkan formasi pengibaran dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok, yakni Kelompok 17 (Pengiring/ Pemandu), Kelompok 8 (Pembawa/Inti) dan Kelompok 45 (Pengawal). Formasi ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indone-sia Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (17-8-45).
Mutahar berpikir keras dan mencoba mensimulasikan keberadaan pemuda utusan daerah dalam gagasannya, karena dihadapkan pada kenyataan saat itu bahwa belum mungkin untuk mendatangkan mereka ke Jakarta. Akhirnya diperoleh jalan keluar dengan melibatkan putra-putri daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka.
Semula, Mutahar berencana untuk mengisi personil kelompok 45 (Pengawal) dengan para taruna Akademi Ang-katan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) sebagai wakil generasi muda ABRI. Tapi sayang, waktu liburan perku-liahan yang tidak tepat dan masalah transportasi dari Magelang ke Jakarta menjadi kendala, sehingga sulit terwujud.
Usul lain untuk menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI seperti RPKAD (sekarang Kopassus), PGT (sekarang Paskhas), Marinir dan Brimob, juga tidak mudah dalam koordinasinya. Akhirnya, diambil jalan yang paling mudah yaitu dengan merekrut anggota Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres), atau sekarang Paspampres, yang bisa segera dikerahkan, apalagi sehari-hari mereka memang bertugas di lingkungan Istana.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, apa yang tersirat dalam benak Husain Mutahar akhirnya menjadi kenyataan. Setelah tahun sebelumnya diadakan ujicoba, maka pada tahun 1968 didatangkanlah pada pemuda utusan daerah dari seluruh Indonesia untuk mengibar-kan bendera pusaka.
Selama enam tahun, 1967-1972, bendera pusaka dikibarkan oleh para pemuda utusan daerah dengan sebutan “Pa-sukan Penggerek Bendera”. Pada tahun 1973, Drs Idik Sulaeman yang menjabat Kepala Dinas Pengembangan dan Latih-an di Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan (P&K) dan membantu Husain Mutahar dalam pembinaan latihan me-lontarkan suatu gagasan baru tentang nama pasukan pengibar bendera pusaka.
Mutahar yang tak lain mantan pembina penegak Idik di Gerakan Pramuka setuju. Maka, kemudian meluncurlah sebuah nama antik berbentuk akronim yang agak sukar diucapkan bagi orang yang pertama kali menyebutnya: PASKIBRAKA, yang merupakan singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Memang, Idik Sulaeman yang memberi nama Paskibraka. Tapi pada hakekatnya penggagas Paskibraka tetaplah Husein Mutahar, sehingga ia sangat pan-tas diberi gelar “Bapak Paskibraka”.
■ Bulletin Paskibraka ‘78 by Syaiful Azram
Di tulis ulang oleh Iswadi
0 komentar:
Posting Komentar